1.1 Keimanan & Implikasinya Tauhid dalam Islam
Pada dasarnya agama dapat bersifat primitif dan ada yang dianut oleh masyarakat yang telah meninggalkan fase keprimitifan. Agama-agama yang terdapat dalam masyarakat primitif adalah dinamisme, animisme, politeisme dan henoteisme.
Dinamisme adalah kepercayaan pada kekuatan gaib yang misterius. Dalam faham ini ada benda-benda tertentu yang dianggap mempunyai kekuatan gaib yang berpengaruh pada kehidupan manusia sehari-hari. Kekuatan gaib itu ada yang bersifat baik dan ada pula yang bersifat jahat. Benda yang dianggap mempunyai kekuatan gaib yang bersifat baik, disenangi dan dipakai bahkan dimakan agar orang yang memakannya senantiasa dipelihara dan dilindungi oleh kekuatan gaib yang ada di dalamnya. Kekuatan gaib itu disebut mana yang dalam Bahasa Indonesia disebut tuah atau sakti. Dalam masyarakat Indonesia ada orang yang masih menghargai barang-barang yang dianggap bertuah atau sakti, misalnya keris, batu dan cincin yang apabila dipakai akan terpelihara dari penyakit, kecelakaan, bencana dll. Semakin banyak mana yang dimiliki oleh sebuah benda maka semakin jauh orang dari bahaya dan selamatlah dia dalam hidupnya, kehilangan mana berarti maut. Sedangkan benda yang mempunyai kekuatan gaib yang bersifat jahat banyak ditakuti oleh orang, oleh karena itu dijauhi.
Animisnme adalah kepercayaan yang mengajarkan bahwa tiap-tiap benda baik yang bernyawa maupun yang tidak bernyawa memiliki roh. Roh ada yang baik dan ada pula yang jahat. Kepada roh yang baik senantiasa dijaga hubungan baiknya dan dihormati dengan cara senantiasa membuat roh-roh baik itu agar merasa senang yaitu dengan mengadakan dan memberika sesajen, sebagai makanannya dalam bentuk binatang, makanan, kembang dan lainnya agar roh-roh itu merasa senang. Roh nenek moyang juga merupakan roh yang dihormati dan ditakuti. Jika roh-roh itu merasa senang dipercayai dapat menyelamatkan hidupnya dan terhindar dari segala malapetaka.
Politeisme adalah kepercayaan pada dewa-dewa. Bahwa hal-hal yang menyebabkan taajub dan dahsyat bukan lagi dikuasai oleh roh-roh akan tetapi oleh para dewa. Dewa-dewa dalam politeisme dipercayai masing-masing memiliki tugas tertentu. Ada dewa yang bertugas menyinarkan cahaya ke permukaan bumi, yang dalam agama Mesir kuno disebut Ra, dalam agama India kuno disebut Surya, dan dalam agama Persia kuno disebut Mithra. Sedangkan dewa yang bertugas menurunkan hujan yang diberi nama Indera dalam agama India kuno dan Donnar dalam agama Jerman kuno. Ada pula dewa yang bertugas mengatur angin yang disebut Wata dalam agama India kuno dan Wotan dalam agama Jerman kuno.
Henoteisme adalah mempercayai satu Tuhan untuk satu bangsa dan bangsa-bangsa lain memiliki tuhannya sendiri-sendiri. Henoteisme mengandung faham tuhan nasional. Faham yang serupa ini terdapat dalam perkembangan faham keagamaan masyarakat Yahudi. Yahweh pada akhirnya mengalahkan dewa-dewa yang lainnya, sehingga Yahweh menjadi tuhan nasional bangsa Yahudi.
Dalam masyarakat yang sudah maju agama yang dianut bukan lagi dinamisme, animisme, politeisme dan henoteisme akan tetapi agama monoteisme, yaitu agama tauhid. Dasar ajaran agama monoteisme adalah tuhan satu, Tuhan Maha Esa, dengan demikian tuhan tidak lagi merupakan tuhan nasional akan tetapi tuhan internasional, tuhan semua bangsa di dunia ini dan bahkan Tuhan Alam Semesta. Disinilah Islam mengambil posisi sebagai agama tauhid yang hanya mengakui adanya satu tuhan yaitu Allah SWT. yang merupakan inti dari ajaran Agama Islam yang terumuskan dalam kalimat tauhid Laa ilaaha illallah. Dan keyakinan atau keimanan yang merupakan pengembangan dari kalimat tauhid di atas sering disebut dengan Aqidah.
Aqidah menurut etimologi adalah ikatan atau sangkutan. Disebut demikian, karena ia mengikat dan menjadi sangkutan atau gantungan segala sesuatu. Aqidah dalam pengertian teknis artinya iman atau keyakinan. Aqidah Islam berawal dari keyakinan kepada Dzat Mutlak Yang Maha Esa yang disebut Allah SWT. Allah Maha Esa dalam dzat, sifat dan perbuatan wujud-Nya itu disebut tauhid. Tauhid menjadi inti rukun iman dan prima causa seluruh keyakianan Islam.
Pokok-pokok keyakinan Islam yang terangkum dalam istilah Rukun Islam adalah :
1. Keyakinan kepada Allah SWT.
2. Keyakinan kepada Malaikat
3. Keyakinan kepada Kitab Suci
4. Keyakinan kepada Nabi dan Rasul
5. Keyakinan kepada Hari Akhir
6. Keyakinan kepada Qadha dan Qadhar.
Keyakinan Kepada Allah SWT
Beriman kepada Allah SWT. berarti yakin dan percaya dengan sepenuh hati akan adanya Allah SWT., baik keesaan-Nya (QS. Al-Ikhlash ayat 1 s/d 4) maupun sifat-sifat-Nya yang sempurna (yang terdapat dalam al-Asma’ul Husna = 99 nama sifat Allah).
Sebagai mahasiswa, yang perlu diketahui lebih baik adalah bahwa Allah SWT. adalah Tuhan Yang Maha Esa itu bersifat :
1. Hidup
Allah SWT. adalah Tuhan Yang Maha Hidup. Hidupnya itu Maha Esa tanpa memerlukan makanan, minuman, istirahat dan sebagainya. Konsekuensi keyakinan yang demikian adalah setiap atau segala sesuatu yang sifat hidupnya memerlukan makanan, minuman, tidur dan sebagainya bagi seorang muslim bukanlah Allah SWT.
2. Berkuasa
Allah SWT. adalah Tuhan Yang Maha Kuasa. Kekuasaan-Nya Maha Esa, tiada setara, tidak ada tolok bandingnya. Ia Maha Kuasa tanpa memerlukan pihak lain manapun juga dalam kekuasan-Nya. Ia adalah Maha kuasa dengan sendiri-Nya. Konsekuensi keyakinan yang demikian adalah seorang muslim harus teguh dalam keyakinannya pada kekuasaan Allah, melampaui segala kekuasaan selain dari kekuasaan Allah. Dan sebagai akibatnya, seorang muslim tidak boleh takut pada kekuasaan lain yang ada dalam alam ini, baik kekuasaan itu berupa kekuatan-kekuatan alamiah maupun kekuasaan insaniah.
3. Berkehendak
Allah SWT. mempunyai kehendak. Kehendak-Nya Maha Esa dan berlaku untuk seluruh alam semesta, termasuk manusia di dalamnya.Konsekuensi keyakinan yang demikian adalah Kehendak Allah Tuhan Yang Maha Esa wajib diikuti oleh setiap muslim. Selain itu, kehendak Allah dapat pula dijumpai pada ayat-ayat kauniyah di alam semesta berupa sunnatullah yaitu hukum-hukum Allah yang oleh para sarjana disebut law of nature (hukum-hukum alam).
Keyakinan Kepada Malaikat
Malaikat adalah makhluk gaib, tidak dapat ditangkap oleh panca indera manusia. Akan tetapi dengan izin Allah, malaikat dapat menjelmakan dirinya seperti manusia, sebagai contoh Malaikat Jibril menjadi manusia dihadapan Maryam, ibu Nabi Isa AS. (QS. Maryam ayat 16 s/d 17). Allah SWT. menciptakan malaikat dari nur (cahaya). Di dalam Al-Qur’an dijelaskan malaikat selalu taat dan patuh kepada Allah, tidak pernah maksiat kepada Allah SWT. (QS. At-Tahrim ayat 6).
Tugas-tugas Malaikat di alam dunia ini antara lain :
a. Menyampaikan wahyu Allah kepada manusia melalui para Rasul-Nya
b. Mengukuhkan hati orang-orang yang beriman
c. Memberi pertolongan kepada manusia
d. Membantu perkembangan rohani manusia
e. Mendorong manusia untuk berbuat baik
f. Mencatat perbuatan manusia
g. Melaksanakan hukuman Allah SWT.
Keyakinan Kepada Kitab Suci
Keyakinan kepada kitab suci merupakan rukun iman ketiga. Kitab suci itu memuat wahyu Allah. Perkataan kitab yang berasal dari kata kerja kataba (artinya ia telah menulis) memuat wahyu Allah. Perkataan wahyu berasal dari bahasa Arab al-wahy. Kata ini mengandung makna suara, bisikan, isyarat, tulisan dan kitab. Dalam pengertian yang umum wahyu adalah firman Allah yang disampaikan Malaikat Jibril kepada para Rasul-Nya. Dengan demikian dalam perkataan wahyu terkandung pengertian penyampaian firman Allah kepada orang yang dipilih-Nya untuk diteruskan kepada umat manusia guna dijadikan pegangan hidup.
Firman Allah itu mengandung ajaran, petunjuk dan pedoman yang diperlukan oleh manusia dalam perjalanan hidupnya di dunia ini menuju akhirat. Wahyu yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW sebagai Rasul-Nya untuk disampaikan kepada umat manusia, semua terekam dengan baik di dalam Al-Qur’an, kitab suci umat Islam. Al-Qur’an meyebut beberapa kitab suci misalnya Zabur yang diturunkan melalui Nabi Daud AS., Taurat melalui Nabi Musa AS., Injil melalui Nabi Isa AS., dan Al-Qur’an melalui Nabi Muhammad SAW sebagai Rasul-Nya.
Namun, dalam perjalanan sejarah kecuali Al-Qur’an, isi kitab-kitab suci itu telah berubah, tidak lagi memuat firman-firman Allah yang asli secara utuh sebagaimana disampaikan Malaikat Jibril kepada para Rasul dahulu. Taurat dan Injil misalnya, dapat dibuktikan telah diubah, ditambah dan dikurang isinya oleh tangan-tangan manusia yang menjadi pemimpin atau pemuka agama bersangkutan.
Perkataan Al-Qur’an berasal dari kata kerja qara-a artinya (dia telah) membaca. Kata kerja ini berubah menjadi kata benda qur’an yang secara harfiah berarti bacaan atau sesuatu yang harus dibaca atau dipelajari. Di dalam Al-Qur’an sendiri ada pemakaian kata Qur’an dalam arti isim maf’ul yaitu maqru’ (dibaca) sebagaimana tersebut dalam QS. Al-Qiyamah ayat 17-18, artinya “Sesungguhnya Kami mengumpulkan Al-Qur’an di dadamu dan menetapkan bacaannya pada lisanmu itu adalah tanggungan Kami, jika Kami telah membacakannya maka ikutilah bacaannya”.
Al-Qur’an diturunkan selama 22 tahun 2 bulan 22 hari. Mula-mula di kota Mekkah dan kemudian kota Madinah.
Secara garis besar Al-Qur’an berisi atau memuat :
a. Aqidah
b. Syariah, baik ibadah maupun muamalah
c. Akhlak dengan semua ruang lingkupnya
d. Kisah-kisah umat manusia di masa lampau
e. Berita-berita tentang zaman yang akan datang
f. Benih dan prinsip-prinsip ilmu pengetahuan, dasar-dasar hukum yang berlaku bagi alam semesta termasuk manusia di dalamnya. (Muhammad Daud Ali; 1997:217)
Keyakinan Kepada Nabi dan Rasul
Antara Nabi dan Rasul terdapat perbedaan tugas utama. Para Nabi menerima tuntunan atau wahyu dari Allah, akan tetapi tidak diwajibkan untuk menyampaikan kepada umat manusia. Sedangkan Rasul adalah utusan Allah yang menerima wahyu dan wajib menyampaikan wahyu tersebut kepada umat manusia. Oleh karena itu seorang Rasul pastilah Nabi, tetapi seorang Nabi belum tentu seorang Rasul.
Jumlah para Rasul yang pernah diutus oleh Allah SWT. untuk memimpin manusia adalah 313 orang, sedangkan jumlah para Nabi 124.000 orang. Sedangkan dalam Al-Qur’an ada 25 orang Nabi atau Rasul. Setelah Nabi dan Rasul yang cukup banyak di atas diutus Allah untuk membimbning dan memimpin masing-masing umatnya di muka bumi ini, Allah SWT. mengutus Nabi Muhammad SAW sebagai Nabi dan Rasul yang terakhir dan penutup. Firman Allah SWT dalam QS. Al-Ahzab ayat 40 yang artinya : “Muhammad SAW itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu, tetapi dia adalah seorang Rasul Allah dan penutup nabi-nabi. Dan adalah Allah mengetahui atas segala sesuatu”.
Dan firman-Nya :
“Dan Kami tidak mengutus engkau (wahai Muhammad) melainkan kepada umat manusia seluruhnya sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pembawa peringatan, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui”. (QS. Saba’ ayat 28)
Nabi Muhammad SAW adalah Rasul penutup (khatamin nabiyyin), sejarah hidupnya dari awal hingga akhir jelas dan lengkap serta terpelihara oleh umat dari masa ke masa. Akhlaknya baik, terlukiskan dengan kata-kata :
a. Shidiq (benar)
b. Amanah (dapat dipercaya)
c. Tabligh (menyampaikan)
d. Fathanah (cerdas).
Keyakinan Kepada Hari Akhir
Keyakinan ini sangat penting dalam rangkaian kesatuan rukun iman lainnya, sebab tanpa mempercayai hari akhirat sama halnya orang yang tidak mempercayai Agama Islam, walaupun orang itu menyatakan beriman kepada Allah. Dalam banyak ayat maupun hadits Nabi, beriman kepada hari akhir hampir selalu dirangkaikan dengan beriman kepada Allah SWT. sebagaimana yang terdapat dalam QS.An-Nisa ayat 59 yang artinya : “Jika kalian beriman kepada Allah dan beriman kepada hari akhir”.Hari kiamat dimulai dengan rusaknya alam ini. Setiap manusia yang hidup di alam ini akan mati, dan bumi akan diganti, bukan bumi dan langit yang sekarang ini. Allah yang membangkitkan semua manusia dan mengembalikan mereka pada kehidupan kedua. Setelah manusia dibangkitkan (hari itu dinamakan hari ba’ats) maka setiap orang dihisab oleh Allah berdasarkan perbuatannya, baik ataupun jelek (hari itu disebut hari hisab atau yaumul hisab). Barang siapa yang perbuatan baiknya lebih banyak dari pada perbuatan jeleknya, maka Allah akan memasukkannya ke dalam surga dan barang siapa yang perbuatan jeleknya lebih banyak dari baiknya, maka Allah akan memasukkannya ke dalam neraka.
Keyakinan Kepada Qadha dan Qadhar
Beriman kepada qadha dan qadhar adalah rukun iman yang ke enam atau rukun iman yang terakhir. Qadha dan qadhar disebut juga dengan takdir.
Menurut Al-Qur’an, qadha berarti : hukum (QS. An-Nisa ayat 65), perintah (QS. Al-Isra ayat 23), memberitakan (QS. Al-Isra ayat 24), menghendaki (QS. Ali Imran ayat 47), menjadikan (QS. Fushilat ayat 12). Kemudian arti qadhar dalam Al-Qur’an dapat kita memahaminya bahwa qadhar itu adalah suatu peraturan umum yang telah diciptakan oleh Allah SWT. untuk menjadi dasar alam ini, dimana terdapat hubungan sebab dan akibat. Telah menjadi sunnatullah yang abadi dimana manusia juga terikat pada sunnatullah itu, sebagaimana yang terdapat dalam QS. Al-Qamar ayat 49, QS. Al-Ahzab ayat 38, dan Al-Furqan ayat 2).Oleh karena itu beriman kepada takdir memberikan arti dimana kita wajib mempercayai bahwa segala sesuatu yang terjadi di alam ini, dalam kehidupan dan diri manusia adalah menurut hukum berdasarkan suatu undang-undang universil atau kepastian umum atau takdir. Dari sekian banyak ayat Al-Qur’an dipahami bahwa semua makhluk telah ditetapkan takdirnya oleh Allah SWT. Mereka tidak dapat melampaui batas ketetapan itu dan Allah SWT. menuntun dan menunjukkan mereka arah yang seharusnya mereka tuju.
1.2. Ketaqwaan dan Implikasinya dalam Kehidupan
Kata taqwa berasal dari kata waqaya yang memiliki arti takut, menjaga diri tanggung jawab dan memenuhi tanggung jawab. Karena itu orang yang bertaqwa adalah orang yang takut kepada Allah SWT. berdasarkan kesadaran, mengerjakan perintah-Nya dan tidak melanggar larangan-Nya baik secara lahiriah maupun batiniah, ia takut terjerumus ke dalam perbuatan dosa. Orang yang taqwa adalah orang yang menjaga (membentengi) dirinya dari perbuatan jahat, memelihara diri agar tidak melakukan perbuatan yang tidak diridhai oleh Allah SWT., bertanggung jawab mengenai sikap tingkah laku dan perbuatannya serta memenuhi kewajiban.
Di dalam QS. Al-Hujarat ayat 13, Allah SWT. mengatakan bahwa : “Manusia yang paling mulia di sisi Allah adalah orang yang paling taqwa”. Dalam surat lain, taqwa dipergunakan sebagai dasar persamaan hak antara pria dan wanita (suami dan isteri) dalam keluarga, karena pria dan wanita diciptakan dari jenis yang sama (QS. An-Nisa ayat 1). Sedangkan dalam QS. Al-Baqarah ayat 117 makna taqwa terhimpun dalam pokok-pokok kebajikan.
Ruang lingkup taqwa dalam makna memelihara meliputi empat jalur hubungan manusia, yaitu :
a. Hubungan manusia dengan Allah SWT.
b. Hubungan manusia dengan dirinya sendiri
c. Hubungan manusia dengan sesama manusia
d. Hubungan manusia dengan lingkungan hidup.
Hubungan Manusia dengan Allah SWT.
Ketaqwaan atau pemeliharaan hubungan dengan Allah SWT. dapat dilakukan dengan cara :
1. Beriman kepada Allah SWT. menurut cara-cara yang diajarkannya melalui wahyu yang disengaja diturunkannya untuk menjadi petunjuk dan pedoman hidup manusia.
2. Beribadah kepada Allah SWT. dengan jalan melaksanakan sholat lima waktu dalam sehari, menunaikan zakat apabila telah mencapai syarat nisab dan haulnya, berpuasa pada bulan suci ramadhan, dan melakukan ibadah haji seumur hidup sekali dengan cara-cara yang telah ditentukan.
3. Mensyukuri nikmat-Nya dengan jalan menerima, mengurus dan memanfaatkan semua karunia dan pemberian Allah kepada manusia.
4. Bersabar menerima cobaan dari Allah dalam pengertian tabah, tidak putus asa ketika mendapat musibah.
5. Memohon ampun atas segala dosa dan kesalahan serta bertaubat dalam arti sadar untuk tidak lagi melakukan segala perbuatan jahat atau tercela.
Hubungan Manusia dengan Dirinya Sendiri
Hubungan manusia dengan dirinya sendiri sebagai dimensi taqwa yang kedua dapat dipelihara dengan jalan menghayati benar patokan-patokan akhlak yang telah disebutkan oleh Allah SWT. di dalam Al-Qur’an, begitu pula pedoman yang telah disampaikan oleh Rasul-Nya melalui As-Sunnah (Al-Hadits) sebagai teladan bagi umatnya. Secara singkat berikut dikemukakan beberapa contoh :
1. Sabar (QS. Al-Baqarah ayat 153)
2. Ikhlas (QS. Al-Bayyinah ayat 5)
3. Berkata benar (QS. Al-Kahfi ayat 29)
4. Berlaku adil (QS. An-Nisa ayat 135)
5. Tidak menganiaya diri (QS. Al-Baqarah ayat 195)
6. Berlaku benar dan jujur (QS. At-Taubah ayat 119)
7. Menjaga diri (QS. At-Tahrim ayat 6)
8. Pemaaf (QS. Ali Imran ayat 134)
Hubungan Manusia dengan Sesama Manusia
Sebagai makhluk sosial, manusia tidak dapat hidup sendiri tanpa bantuan dan pertolongan manusia lain. Karena ternyata manusia yang mengaku pintar ini tidak dapat dan tidak mampu mencukupi kebutuhan diri sendiri tanpa bantuan orang atau pihak lain. Oleh sebab itu manusia sebagaimana diajarkan oleh Al-Qur’an dan As-Sunnah agar menjaga dan memelihara hubungan baik antar sesamanya. Hubungan manusia dengan sesamanya dalam masyarakat dapat dibina dan dipelihara melalui :
1. Tolong menolong dan bantu membantu dalam kebaikan dan tidak mengembangkan perbuatan dosa dan menyebarkan permusuhan (QS. Al-Maidah ayat 2)
Pendidikan Agama Islam – Hal 12
2. Suka memaafkan kesalahan orang lain (QS. Ali Imran ayat 134)
3. Menepati janji (QS. Al-Maidah ayat 1)
4. Toleransi dan lapang dada (QS. Ali Imran ayat 159)
5. Menegakkan keadilan dengan berlaku adil terhadap diri sendiri dan orang lain (QS.An-Nisa 135)
6. Tidak menyombongkan diri/angkuh dalam pergaulan (QS. Luqman ayat 18)
7. Berlaku sederhana dan lemah lembut dalam pergaulan (QS.Luqman ayat 19)
Hubungan Manusia dengan Lingkungan Hidup
Di lihat secara umum mengenai pelaksanaan taqwa bila digambarkan oleh kewajiban terhadap lingkungan hidup adalah :
1. Kewajiban terhadap lingkungan hidup dapat disimpulkan dari pernyataan Allah dalam Al-Qur’an yang menggambarkan kerusakan yang telah terjadi di daratan dan di lautan, karena ulah tangan-tangan manusia, yang tidak mensyukuri karunia Allah. Untuk mencegah derita yang dirasakan oleh manusia, manusia wajib memelihara dan melestarikan lingkungan hidupnya. Memelihara dan melestarikan alam lingkungan hidup berarti pula memelihara kelangsungan hidup manusia sendiri dan keturunannya di kemudian hari.
2. Kewajiban orang yang taqwa terhadap harta yang dititipkan atau diamanatkan oleh Allah SWT. padanya. Menurut ketentuan Allah SWT. dan Sunnah Nabi Muhammad SAW yang kini terekam dalam kitab-kitab hadits, hubungan manusia dengan hartanya dapat di lihat dari tiga sisi, yaitu :
(a) cara memperolehnya,
(b) fungsi dan harta
(c) cara memanfaatkan atau membelanjakannya.